Aceh Recovery Forum (ARF)
Jika Anda merasa konten halaman ini masih belum sempurna, Anda dapat berkontribusi untuk menyempurnakan dengan memperbaiki (Edit) atau memperdalam konten naskah ini. Setelah Anda anggap sempurna, silakan hapus koda template {{sempurnakan}}
ini. Atau, Anda dapat mengirimkan perbaikan konten naskah ke bencanapedia@gmail.com..
Terimakasih..
Berdiri
Februari 2005 di Banda Aceh
Manajer Operasional
Jeliteng Pribadi
ARF
Jl. Prada Utama 111
Kampung Pineung, Banda Aceh, INDONESIA
Peran Masyarakat Sipil dalam Pemulihan Samudera Hindia
Contents
Deskripsi
ARF adalah forum temu gagasan masyarakat sipil di Aceh untuk membahas proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami, termasuk memberikan masukan dan evaluasi pemulihan di berbagai sektor vital.
Tujuan
Kepengurusan
Linimasa
Workshop ke 1
Workshop ke-1 ARF diselenggarakan di Medan pada Maret 2005.
Workshop ke 2
Workshop ke 3
Workshop ke 4
Workshop ke 5
Workshop ke 6
Penyelenggaraan workshop pada awal 2007 di Sultan Selim II Aceh Community Center, Banda Aceh, bertajuk khusus “Strategi Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh di bawah Pemerintahan Baru”.
Workshop ke-6 ARF tersebut diikuti oleh sekira 100 orang peserta dari berbagai komponen masyarakat, baik tokoh adat, ulama, akademisi, professional, aktivis perempuan, LSM, mantan kombatan (eks GAM), dan asosiasi dunia usaha.
Dari seluruh peserta, 75 orang di antaranya adalah anggota Pokja ARF yang telah berpartisipasi dalam acara workshop ARF pertama pada Maret 2005 yang diselenggarakan di Medan. Peserta dibagi ke dalam lima Kelompok Kerja (Pokja) yaitu: (1) Pokja Perumahan dan Infrastruktur; (2) Pokja Ekonomi dan Dunia Usaha; (3) Pokja Pendidikan dan Kesehatan; (4) Pokja Kelembagaan dan Penguatan Kapasitas Pemda; dan (5) Pokja Perdamaian.
Forum terbagi dalam sesi paparan disusul topik pembahasan di setiap sesi. Workshop yang berlangsung selama dua hari penuh pada 28-29 April 2007 tersebut diisi dengan presentasi disusul diskusi kelompok oleh para peserta. Pada ruangan lain, ruang pameran diisi oleh BRR, Aceh Magazine, Moslem Aid, dan lembaga lain yang turut mengisi salah satu forum yang banyak memberikan masukan bagi pemulihan Aceh pasca tsunami, dan pasca terpilihnya pemimpin pemerintahan Aceh yang baru.
Ringkasan ARF ke-6
Laporan Panitia Pelaksana, Manajer Operasional ARF, Jeliteng Pribadi
Kegiatan workshop mengambil tema: Strategi percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh di bawah Pemerintahan Baru. Sebagaimana workshop-workshop sebelumnya, kegiatan ini ditujukan untuk menyediakan forum kepada masyarakat untuk berkontribusi kepada proses rehab rekon di NAD. Pada workshop kali ini, diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi strategi percepatan rehab rekon di Aceh di dalam pemerintahan Baru.
Suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh pada 11 Desember 2006 dan terpilihnya Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang legitimate, menjadi momen penting bagi warga Aceh dalam memasuki babak baru kehidupan setelah terkungkung dalam konflik berkepanjangan dan bencana tsunami yang dahsyat. Pengelolaan pemerintahan Aceh di bawah pemerintahan baru diharapkan mampu membawa perubahan secara strategis, taktis, dan berorientasi pada penyelesaian masalah-masalah kehidupan masyarakat Aceh sekarang dan masa depan, termasuk pembangunan ekonomi daerah Aceh yang jauh tertinggal dibandingkan daerah-daerah lainnya.
Membangun kembali Aceh pasca konflik dan tsunami merupakan tantangan yang sangat berat. Hal ini merupakan tantangan yang kompleks bagi para pengambil kebijakan di Aceh. Karena itu, peranan masyarakat dipandang sangat penting. Kami menyadari bahwa kemajuan Aceh bukan hanya penting bagi masyarakat Aceh, melainkan juga bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan, sebab keberhasilan pembangunan pasca tsunami dan pasca konflik diharapkan dapat menjadi model pembangunan kembali di mata internasional serta terwujudnya cita-cita pembangunan nasional di mata dunia.
Workshop ke-6 ARF kali ini diikuti oleh 100 orang peserta dari berbagai komponen masyarakat, baik tokoh adat, ulama, akademisi, professional, aktivis perempuan, LSM, mantan kombatan, dan asosiasi dunia usaha. Dari seluruh peserta, 75 orang di antaranya adalah anggota Pokja ARF yang telah berpartisipasi di dalam acara workshop ARF yang pertama sejak Maret 2005 yang diselenggarakan di Medan. Peserta terbagi ke dalam 5 Pokja: (1) Pokja Perumahan dan Infrastruktur; (2) Pokja Ekonomi dan Dunia Usaha; (3) Pokja Pendidikan dan Kesehatan; (4) Pokja Kelembagaan dan Penguatan Kapasitas Pemda; (5) Pokja Perdamaian. Workshop ini berlangsung selama 2 hari penuh (28-29 April 2007).
Dalam kesempatan kali ini, perkenankanlah kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Danida, pada khususnya dan kerajaan Denmark pada umumnya yang telah setia mendukung ARF dan memfasilitasi masyarakat untuk berperan aktif di dalam proses pembangunan Aceh pasca tsunami, sejak awal berdirinya ARF Februari 2005 hingga saat ini.
Ucapan terima kasih pula kepada Pemerintah Republik Indonesia, khususnya BAPPENAS, Pemda NAD, BRR NAD-Nias yang telah mengakomodir masukan dan gagasan yang telah disampaikan masyakarat. Ucapan terima kasih pula kepada selurh anggota Pokja ARF yang telah sangat setia, terus menyampaikan ide dan gagasannya dalam proses rehab dan rekon di Aceh. Ucapan terima kasih kepada seluruh Panitia yang telah bekerja penuh kekompakan, penuh semangat dan efisien demi terselenggaranya workshop kali ini.
Pidato Gubernur NAD, Irwandy Yusuf: Persiapan Pemda NAD menghadapi Phasing Out BRR
(Diwakili oleh Asisten II Gubernur NAD, Usman Budiman)
Saya merasa gembira dan menyambut baik workshop yang diselenggarakan oleh Aceh Recovery Forum. Suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh pada 11 Desember 2006 dan terpilihnya Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang baru, menjadi momen penting bagi warga Aceh dalam memasuki babak baru kehidupan setelah terkungkung dalam konflik berkepanjangan dan bencana tsunami yang dahsyat. Pengelolaan pemerintahan Aceh di bawah pemerintahan baru diharapkan mampu membawa perubahan secara strategis, taktis, dan berorientasi pada penyelesaian masalah-masalah kehidupan masyarakat Aceh sekarang dan masa depan, termasuk pembangunan ekonomi daerah Aceh yang jauh tertinggal dibandingkan daerah-daerah lainnya.
Warisan masalah akibat konflik ditambah dengan dampak musibah tsunami merupakan kendala dan tantangan yang kompleks bagi Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. Masalah-masalah keamanan seperti intimidasi, teror, pemerasan, perampokan, hingga pembunuhan sebagai buntut konflik masih belum sepenuhnya teratasi. Sementara itu, kemiskinan, pengangguran, minimnya keterampilan dan pengalaman, minimnya akses kepada pendidikan dan kesehatan, serta buruknya kualitas sarana dan prasarana publik sebagai ekses konflik dan tsunami masih terus membayangi. Beratnya beban yang dihadapi pemerintahan baru, jelas memerlukan dukungan berlipat ganda dari segenap komponen masyarakat agar berhasil menjalankan tugasnya. Sesungguhnya, kemajuan Aceh pasca konflik dan tsunami di bawah kepemimpinan pemerintahan baru bukan hanya penting bagi rakyat Aceh, melainkan juga bagi bangsa ini secara keseluruhan. Sebab, keberhasilan pembangunan pasca perjanjian damai dan bencana tsunami di Aceh akan menjadi model bagi terwujudnya cita-cita pembangunan nasional di mata dunia.
Kehadiran Badan Rehabilitasi dan Rekontstruksi NAD-Nias (BRR) serta Badan Reintegrasi Aceh (BRA) jelas memberikan harapan bagi rakyat Aceh, khususnya para korban tsunami dan konflik. Besarnya alokasi dana pemerintah pada kedua lembaga ini cukup memberi keyakinan tersendiri bagi rakyat Aceh. Selama tahun 2005 – 2006, pemerintah telah menganggarkan Rp 13 Trilyun lebih untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh melalui BRR. Sementara, lebih Rp 800 milyar telah disalurkan pemerintah melalui BRA dalam kurun waktu yang sama. Dengan dukungan dan komitmen lembaga-lembaga donor internasional, wajar bila rakyat Aceh menaruh harapan yang tinggi kepada kedua lembaga ini untuk dapat mempercepat pulihnya kondisi Aceh yang luluh lantak akibat konflik dan tsunami.
Memasuki tahun ketiga rehab-rekons Aceh, keluhan dan tuntutan masyarakat terhadap percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi semakin mengemuka. Meskipun banyak hasil pembangunan yang kita saksikan sejauh ini, namun kita tidak menutup mata terhadap berbagai keluhan dan permasalahan yang terjadi. Hingga Januari 2007, ARF mencatat hanya 51.041 dari 129.828 rumah permanen yang dibutuhkan selesai dibangun di 16 Kabupaten/Kota di Aceh. Justru, 90 persennya dibangun oleh donor dan NGO. Sehingga wajar bila hingga hari ini masih ada 49.423 korban tsunami yang tinggal di barak dengan kondisi air dan sanitasi yang sangat memprihatinkan. Selebihnya terpaksa terus menumpang di rumah keluarga atau menyewa. Sementara itu, BRR mengklaim telah membangun 750 unit sekolah, 300 fasilitas kesehatan, dan 1.200 kilometer jalan. Akhir tahun 2007 ini, BRR kembali menargetkan bahwa seluruh pengungsi yang tinggal di Barak akan dapat dipindahkan ke rumah-rumah.
Menyadari besarnya tingkat kerusakan yang ditimbulkan akibat konflik dan bencana tsunami, maka strategi dan program rehab rekon Aceh harus dirancang dan dilaksanakan dengan mekanisme dan usaha yang luar biasa. Di samping itu, mandat yang diberikan pemerintah kepada BRR hanya tinggal dua tahun lagi, sementara begitu banyak agenda-agenda pembangunan yang belum terselesaikan.
Kami menyadari dengan telah terpilihnya pemerintahan baru di Aceh, ada secercah baru harapan bagi masyarakat Aceh. Kondisi ini diharapkan menjadi momentum percepatan pembangunan NAD yang diidamkan segenap lapisan masyarakat. Dengan tingginya harapan masyarakat yang sedemikian tinggi, selayaknya kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah, BRR, BRA dan seluruh pengambil kebijakan di Aceh sekarang dan yang akan datang, perlu lebih terarah, terkoordinir dan tersinergi dan berkesinambungan. Dalam rangka itulah, kami menyambut baik workshop yang dilaksanakan hari ini. Kita berharap hasil workshop ini dapat mengidentifikasikan berbagai permasalahan yang terjadi dalam rehab rekon di Aceh selama ini, untuk kemudian dapat diberikan solusi dan rekomendasi yang lebih baik.
Ada sejumlah tantangan dan harapan dalam rangka rehab rekon di Aceh, antara lain pembangunan perumahan, sistem air minum, jalan, pelabuhan laut, dan udara serta pembangunan ekonomi masyarakat. Pembangunan perumahan belum terpenuhi sesuai dengan target, padahal masyarakat korban sangat mengharapkan pembangunan perumahan dapat selesai pada ahir 2007. Untuk itu, kita sangat mengharapkan kepada para kontraktor, konsultan serta pengguna anggaran,agar dapat menjalankan tugas secara lebih bertanggung jawab.
Pembangunan sektor air minum juga belum sesuai harapan. Jaringan pipa primer memang telah terpasang, namun jaringan sekunder belum tersedia, sehingga air minum belum dapat dinikmati oleh masyarakat secara maksimal. Masih banyak jaringan pipa induk belum banyak yang diperbaiki, sehingga mempengaruhi kualitas dan debit air kepada konsumen. Kita berharap sebelum masa tugas BRR berakhir di Aceh, persoalan air minum telah dapat ditangani dengan sebaik-baiknya.
Pembangunan jalan masih banyak terkendala masalah pembebasan tanah, terutama berkenaan dengan dana yang bersumber dari BRR NAD-Nias dan Pemda Provinsi NAD, seperti pembebasan tanah untuk jalan Banda Aceh – Meulaboh yang masalah pembebasan tanahnya akan selesai dalam waktu dekat ini.
Pembangunan fasilitas pembangunan pelabuhan laut juga belum dapat ditangani secara maksimal. Secara umum, pembangunan kembali pelabuhan laut telah banyak mendapatkan bantuan dari pihak asing. Namun pelabuhan laut masih terkendala karena ketiadaan alat bongkar muat barang sehingga belum dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Pembangunan Bandara Sultan Iskandar Muda yang sangat membantu sewaktu terjadinya bencana gempa dan tsunami, sedang dalam tahap pelaksanaan. Panjang landasan pacu akan bertambah menjadi 3000 meter yang akan dapat didarati oleh pesawat berbadan lebar. Untuk pembangunan bandara Sultan Iskandar Muda akan ditanggung oleh Pemda Provinsi NAD. Begitu juga dengan pembangunan bandara Cut Nyak Dhien di Meulaboh diharapkan dapat segera selesai sehingga dapat didarati oleh pesawat jenis Boeing 737-300.
Terakhir masalah pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sebagaimana kita lihat dan kita ketahui bersama, pemberdayaan ekonomi masyarakat yang telah dilakukan oleh pihak BRR NAD-Nias jika kita lihat di lapangan kondisinya belum begitu memuaskan masyarakat. Untuk itu kami berharap kiranya seluruh elemen yang ada terutama yang ada di BRR NAD-Nias dan BRA agar apa yang telah dilakukan selama ini yang kita nilai telah berjalan namum belum maksimal dalam dua tahun ke depan akan dapat dilakukan secara maksimal sehingga semua harapan masyarakat dapat terpenuhi.
Masukan Tambahan (Asisten II Gubernur NAD, Usman Budiman)
Pembangunan bukan belum dilaksanakan, tetapi telah dilaksanakan, namum menyangkut dengan jumlah berapa yang perlu dibangun, ini belum didapatkan. Oleh karena itu, ada sejumlah angka yang terus bertambah, sehingga angka ini yang sangat sulit dipenuhi oleh pihak BRR.
Yang kedua, banyak rumah yang belum dihuni oleh karena fasilitas yang belum ada. Rumah yang dibangun oleh pihak NGO misalnya, biasanya tidak dilengkapi oleh pembangunan berbagai fasilitas umum, seperti listrik, air bersih, drainase, dan sebagainya. Sudah saatnya untuk berfikir untuk memenuhi kebutuhan akan fasilitas tersebut terutama air dan listrik, agar rumah-rumah dapat segera dihuni. Gubernur NAD sangat mengharapkan masalah air minum dapat ditangani dengan segera.
Kemudian mengenai masalah jalan. Kita melihat di Aceh ada jalan lingkar, namun “jalan potong” di Aceh tidak ada. Misalnya, bagi masyarakat Meulaboh yang ingin berpergian ke Pidie, jalan dari Meulaboh – Pidie tidak tersedia, sehingga alternatifnya harus ke Banda Aceh terlebih dahulu baru ke Pidie. Jalan potong ini diharapkan dapat mempermudah hubungan antara wilayah Pantai Barat dengan Pantai Timur.
Kemudian masalah pelabuhan laut. Pelabuhan laut tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa adanya fasilitas bongkar muat. Diharapkan dalam dua tahun kedepan, fasilitas bongkar muat dapat pula tersedia bagi pelabuhan-pelabuhan di Aceh.
Kemudian masalah listrik. Banyak investor asing yang ingin berinvestasi di Aceh, namun terkendala masalah ketersediaan listrik di Aceh. Masalah telekomunikasi dirasakan telah baik, BRR telah melakukan banyak hal dalam bidang telekomunikasi.
Mengenai masalah penanganan banjir. Beberapa daerah yang rawan banjir seperti Aceh Tamiang dan Aceh Barat masih perlu mendapatkan perhatian yang lebih baik. Setiap musim penghujan, beberapa sungai meluap dan menyebabkan masalah banjir setiap tahunnya.
Untuk masalah pemberdayaan ekonomi masyarakat, beliau mengharapkan adanya penyediaan berbagai pelatihan kepada masyarakat, sebelum bantuan berupa modal dan kredit disalurkan, agar ekonomi masyarakat dapat segera tumbuh dan berkembang.
Mengenai masalah transisi dari BRR kepada Pemerintah Daerah, proses transisi ini sedang berlangsung. Gubernur mengharapkan adanya berbagai masukan dari workshop ini untuk membantu terwujudnya proses transisi yang lebih baik. Workshop ini diharapkan dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah berkenaan dengan transisi BRR kepada Pemda.
Paparan Kelompok Kerja
Pembelajaran
Buah baik atas keberadaan ARF dalam memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk memberikan aspirasi, kontribusi, dan merefleksikan peran sertanya dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh, menjadikan forum serupa juga dibentuk oleh masyarakat sipil di wilayah Jogja saat terjadi Gempa Jogja dan Jawa Tengah pada 2006. Jogja Recovery Forum (JRF) menjadi ruang koordinasi dan berbagi aspirasi bagi masyarakat sipil dengan mengajak pemangku kepentingan lain, baik Pemerintah, INGO, dan NGO untuk bekerjasama dalam pemulihan pasca gempa yang dipicu oleh gerakan tektonis Sesar Opak di Jogja dan Jawa Tengah.
Sumber
- Tim Notula ARF, 2007. Notula ARF ke-6. Banda Aceh: ARF
- Antono, Beni, 2007. Laporan ARF ke-6. Banda Aceh: Direktorat Komunikasi BRR