Kearifan Lokal di Merapi

From Bencanapedia.ID
Jump to: navigation, search

Hewan Turun Gunung

Selain mimpi, tanda sebelurn Meletus yang sempat terjadi adalah turunnya hewan­-hewan. Beberapa orang, baik warga Turgo maupun masyarakat lain sempat melihat kejadiaan ini. Sudiredjo rnisalnya, beberapa hari sebelum kejadian melihat banyak hewan seperti celeng don rnonyet dari yang turun ke bawah.

"Menawi celeng Ian kethek padha mudun niku sampun biasa. Nanging kok sampun pinten­-pinten dinten celeng Ian kethek ingkang mudhun kathah sanget. Eh... mboten nyana niku perthanda ajeng njeblug." (Kalau celeng dan monyet pada turun itu biasa. Tapi sampai beberapa hari. celeng dan monyet yang turun banyak sekali. Eee... ternyata pertanda mau meletus) - Sudiredjo, warga Turgo yang menjadi korban dan akhirnya meninggal.

Hal serupa dialami Darmosuwito (60), warga Tioga Putri Kaliurang yang saat itu sedang berkunjung di rumah saudaranya di Turgo. Ia menyaksikan perilaku hewan-hewan hutan seperti harimau, kera, kelinci berlarian turun ke desa. Saat itu pukul 03.00 pagi, saat Darmosuwito perg1 ke belakang untuk membuang hajat.

"Estu kulo kaget sanget, awit mboten kados biasanipun kewan-kewan alas sami gregudugan mandhap." (Betul soya sangat kaget, karena tidak biasanya hewan liar pada turun rombongan)

Saat per jalanan pulang, di jalan Darmosuwito melihat sesuatu yang dirasakan aneh. Burung-burung dan sapi milik penduduk nampak gelisah dan ribut. Begitu pula M. Asron, mahasiswa UII di Kaliurang melihat burung­ burung berterbangan nampak tidak wajar. Terbang bergerumbul dan berkicau seolah ada peristiwa yang menakutkan. Turunnya hewan-hewan hutan disebabkan oleh perubahan suhu ketika kegiatan vulkanik meningkat. Beberapa warga Turgo sebenarnya telah menangkap perubahan suhu tersebut. Adi Suwanto misalnya, merasakan perubahan suhu.

"Meski tidak terlalu mencolok tapi rasanya suhu panas dan tidak enak di badan."

Begitulah, hewan ternyata memiliki naluri menyelamatkan diri, lebih kuat disbanding manusia. Perubahan yang terjadi pada lingkungannya, langsung ditangkap dan diterjamahkan dalam perilaku.

Benang Putih

Masyarakat Merapi mengenal pule tanda lowe atau benang putih jika akan meletus. Benang putih tersebut dipercaya tnenjadi batas daerah-daerah yang akan di lewati lahar atau awan panas letusan Merapi. Tidak jelas, siapa yang memasang benang tersebut. Hanya saja, masyarakat Merapi pada umumnya percaya bahwa benang tersebut dipasang oleh "penunggu" Merapi. Benang putih, menjelang bencana 22 Nopember 1994 muncul pula. Banyak masyarakat Turgo yang mendengar cerita ini, salah satunya FX Suwadji. Benang putih itu melintas di atas kampung, tersangkut di pohon­-pohon. Tapi tidak ada yang mengetahui dari mana benang itu berasal. FX. Suwadji pun menyangka benang itu bekas anak-anak main layang-layang. "Kalau benang putih terpasang di hutan, pasti berasal dari Merapi. Benang itu dipercaya masyarakat menjadi batas lahar atau awan panas. Ponilan, dari Kaliurang, Magelang, menyatakan bahwa tidak mungkin benang tersebut dari layangan, ataupun tidak mungkin manusia yang memasang benang tersebut. "Benang itu terlalu tinggi, di atas pohon. Saat diikuti, bahkan benang itu menyeberangi jurang. Nggak mungkin benang itu orang yang pasang." ucapnya.

Mimpi

Mimpi dalam kepercayaan Masyarakat Gunungapi Merapi memiliki peran sebagai salah satu tanda yang dikirim "penghuni" sebelum gunung meletus. Masyarakat Merapi mengenal bentuk-bentuk informasi tradisional yang dikirim Merapi. Leluhur-leluhur di Turgo atau lereng lainnya sangat pandai menerjemahkan tanda sebagai peringatan sehingga mereka tetap hidup nyaman bersama Merapi. Informasi ini dilakukan secara turun tumurun, termasuk menyangkut kepercayaan bahwa Merapi pasti akan mengirim tanda sebelum meletus. Sasmita (wangsit, petunjuk, tanda} tersebut dapat berupa mimpi, turunnya hewan-hewan maupun tanda-tanda mistis lainnya. Menjelang bencana, sebetulnya informasi itu ada. Hanya saja dengan berjalannya waktu, peringatan-peringatan itu terlupakan, termasuk oleh masyarakat Turgo sendiri. Terhadap urusan mimpi ini masyarakat Turgo mengenal tiga jenis mimpi, yaitu titi yoni, ganda yoni dan puspa tajem. Dari ketiga jenis mimpi tersebut, konon puspa tajem merupakan mimpi yang paling tajam dan terpercaya. Mimpi ini hadir menjelang pagi dan dapat menjadi petunjuk.

Sekitar seminggu sebelum bencana awan panas 22 November 1994, Adi Suwanto, salah seorang saksi korban telah mendapat mimpi. Dalam mimpinya, Adi. Suwanto melihat di sebelah timur rumahnya banjir. Adi jelas ketakutan. Tak lama kemudian, muncul orang tua berpakaian serba hitam. Pesannya sederhana dan sangat tegas.

"Ojo wedi, ora apa-apa. Ning nek kowe wedi, ya nisiho ngulon dhisik." (Enggak usah takut. Kalau kamu takut, ya minggir dulu ke barat).

Mimpi tersebut sebenarnya telah diceritakan pada warga lain saat gotong royong. Topi sayang, mimpi Adi tidak dipercaya tetangga, malah dijadikan bahan gurauan.

"Ngimpine kuwi ya pas turu tho? Kuwi gur kewaregen telo” (mimpi itu terjadi waktu tidur kan?. Ah, itu sih Cuma karena kekenyangan ketela."

Jika mimpi tersebut dituruti. Adi memiliki peluang semakin besar untuk selamat. Tapi Adi Suwanto tenang-tenang saja. Mimpi itu tidak dihiarukan dan tidak merasa bahwa mimpi itu yang menjadi salah satu peringatan. Mimpi lain dialami Muhardjo. Sebelum kejadian, ia mimpi rumah Sudirdjo terbalik. Tak kurang ia bertanya-tanya:

"Lha wong mau ewuh (mau memiliki hajat) kok dapat mimpi seperti itu?"

Lalu beberapa hari kemudian mimpi Muhardjo terjawab. Rumah Sudirdjo roboh terkena awan panas dan mengakibatkan korban terbanyak. Mimpi tersebut tidak ditanggapi betul.

Mimpi juga terjadi pada orang yang bukan warga Dusun Turgo, yang secara kebetulan sedang berada di Dusun Turgo. Daliyem dan Yatiman, warga Imogiri, Bantul. Kebetulan ibu dan anak itu tengah bekerja di proyek Dam Kali Boyong dekat Dusun Turgo. Daliyem jadi buruh masak dan Yatiman kuli batu. Dalam mimpi, dinihari 22 November 1994, Daliyem didatangi seorang wanita setengah baya. Wanita itu memakai pakaian lengan panjang warna putih dan kebaya putih. Daliyem tak mengenal wanita itu. Didalam mimpi, wanita tersebut berkata:

"Dhi, nggone pindaho. Sesuk arep ana perubahan." (Dik, tempatmu pindah saja. Besok di sini akan ada perubahan).

Begitu selesai berucap. wanita itu langsung pergi menghilang. Daliyem menafsirkan mimpi itu sebagai tanda suatu hal buruk akan terjadi. Ia saat itu mengira, "Bak air dekat kami menginap akan dhadhal (jebol)." Begitu pula anaknya, Yatiman, mimpi didatangi seorang wanita. Wanita itu memakai pakaian serba hitam. Bajunya lengan panjang warna hitam dan rok yang dikenakan juga panjang warna hitam. Wanita itu lantas memaksa Yatiman untuk menikahinya.

"Yat, Yatiman, aku nikahono. Kowe gelem ora gelem kudu ngepek bojo aku. Wis pokoke gelem ora gelem kowe kudu dadi bojoku" (Yat, Yatiman, nikahi lah aku. Mau enggak mau harus menikahi aku. Pokoknya, mau enggak mau kamu harus jadi suamiku)

Wanita itu terus memaksa, tapi Yatiman tetap menolak sampai akhirnya wanita itu hilang begitu saja. Pikiran Yatiman jelas tak karu-karuan, tapi ia merahasiakan soal mimpi itu pada teman-temannya. Yatiman mencoba bertahan beker ja di Kali Boyong, tapi perasaannya tetap tidak tenang. Akhirnya hari Selasa pagi Yatiman ijin pulang. Waktu pamit ibunya tak mengijinkan, tapi Yatiman tetap nekad. Hati Daliyem makin was-was melihat tingkah laku Yatiman, "Jangan­jangan ada kaitannya dengan wanita yang hadir dalam mimpi saya: Tapi Daliyem tetap bekerja seperti biasa dan baru lari ketika mendengar letusan. Ia dan anaknya selamat dari bencana awan panas.

Sumber

  • KAPPALA Indonesia, 1999, Merapi Bertutur.