Lembaga kemanusiaan

From Bencanapedia.ID
Jump to: navigation, search

Jika Anda merasa konten halaman ini masih belum sempurna, Anda dapat berkontribusi untuk menyempurnakan dengan memperbaiki (Edit) atau memperdalam konten naskah ini. Setelah Anda anggap sempurna, silakan hapus koda template {{sempurnakan}} ini. Atau, Anda dapat mengirimkan perbaikan konten naskah ke bencanapedia@gmail.com..

Terimakasih..

Lembaga sosial yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan yang bertujuan membantu masyarakat terdampak, baik karena diakibatkan oleh fenomena alam (seperti gempa, tsunami, angin topan, dan lain-lain) atau tangan-tangan manusia (seperti perang, kemiskinan, malnutrisi, dan lain-lain). Bidang garapannya bermacam-macam: ada yang mengkhususkan pendidikan, buruh migrant, mengurus pengungsi, korban perang, korban bencana, dan lain-lain. Di lihat dari jangkauan pergerakannya, ada yang bergerak di tingkat internasional, nasional, dan ada yang bersifat kedaerahan. Dilihat dari penggeraknya ada yang berlatar agama tertentu, suku tertentu, ras tertentu, bangsa tertentu, dan daerah tertentu, tetapi juga ada yang lintas semuanya. Lembaga kemanusiaan ini ada yang dibentuk pemerintah, gabungan pemerintah, dan ada yang dibentuk oleh masyarakat sipil.

Time Line

Sejarah lembaga kemanusiaan berbeda dengan bantuan kemanusian. Tentang bantuan kemanusiaan, sejarahnya sama panjangnya dengan sejarah dunia konflik, perang, dan bencana alam di dunia. Secara tradisional, zaman dulu, ketika terjadi konflik, perang, dan bencana, dengan cara-cara konvensional pula, ada kelompok-kelompok tertentu yang memiliki naluri kemanusiaan untuk terlibat memberikan bantuan. Akan tetapi, sejarah lembaga kemanusiaan sebagai lembaga kemanusiaan dalam pengertian moderen, lebih belakangan munculnya.

Sejarah lembaga kemanuisaan ini di antaranya muncul di Eropa akibat Perang Solferino (1859) yang melibatkan Austria, Italia dan Perancis. Perang ini mengilhami terbentuknya Konvensi Jenewa (1863), yang menjamin netralitas lembaga kemanusiaan dalam melakukan aksinya. Beberapa tahun berikutnya terbentuk ICRC (Internasional Committee of the Red Cross) pada tahun 1876 oleh Henry Dunant dan beberapa kawannya.

PBB sebagai lembaga ainternasional juga membentuk lembaga-lembaga kemanuisaan, di antaranya UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), yang mengurusi pengungsi. Saat itu pembentukannya pada awal Perang Dunia ke-2 untuk membantu masyarakat Eropa yang tergerus perang Dunia ke-2. Sementara kantor UNHCR didirkan pada 14 December 1950 dengan mandat tiga tahun untuk menyelesaikan tugasnya, tetapi kemudian dibubarkan. Di tahun berikutnya, pada 28 Juli 1950, Konvensi PBB tentang Status Pengungsi dikeluarkan, sehingga menjadi payung hukum untuk membantu pengungsi.

Semakin banyaknya bencana, konflik, dan perang, menjadikan masyarakat dunia tergugah untuk mendirikan lembaga-lembaga kemanusiaan, dengan berbagai konsennya: ada yang bergerak di bidang donor darah dengan membentuk Bulan Sabit Merah; dan PBB sendiri sebagai lembaga internasional yang beranggotakan banyak negara kemudian terlibat membentuk lembaga-lembaga yang mengurusi pendidikan, kesehatan, anak-anak, dan banyak yang lain. Masyarakat di negara-negara lain kemudian juga ikut terlibat melakukan aksi kemanuisaan, kadang-kadang lewat keduataan masing-masing; dan ada yang menggunakan lembaga kemanusiaan tersendiri. Berdirinya lembaga kemanusiaan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari berdirinya Ormas-ormas sejak zaman kemerdekaan yang memiliki program membantu dan melakukan aksi kemanusiaan, dan ini diatur oleh Pasal 1663-1664 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata); dan tentang lembaga-lembaga yang berbadan hukum diatur oleh Pasal 1 Staatsblad 1870 No. 64. Sedangkan pada zaman kemerdekaan, lahir UU No. 4 tahun tahun 1965 tentang pemberian bantuan terhadap orang-orang jompo yang memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat dan lembaga sosial.

Pada zaman Orda Baru, Ormas-ormas itu diatur kembali lewat UU Ormas No. 8 tahun 1985, yang mensyaratkan semua Ormas harus berasaskan Pancasila. Negara kemudian mengatur kembali lembaga-lembaga sosial dalam bentuk yayasan dalam UU No. 16 tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 tahun 2004 tentang UU Yayasan. Sedangkan lembaga kemanuisaan yang khusus menangani penanggulangan bencana, negara mengatur dalam UU No. 24 tahun 2004 tentang penanggulangan Bencana, dan PP. No. 22 tahun 2008 tentang pendanaan dan pengelolaan Bantuan Bencana, yang memberikan mandat kepada BNPB sebagai lembaga yang mengkoordinir pengelolaan penanggulangan bencana, termasuk bantuan dari lembaga-lembaga kemanusiaan.

Konvensi Jenewa

Pada tanggal 22 Agustus 1864 pemerintah Swiss mengundang berbagai negara, setelah terjadi perang di Eropa (Perang Selfarino yang melibatkan Austria, Prancis, dan Italia) dan para delegasi sepakat membuat Konvensi Jenewa. Konvensi ini menyepakati 10 artikel, yang menjamin netralitas lembaga kemanusiaan untuk melakukan aktivitasnya pada saat perang dan setiap negara wajib melindungi lembaga kemanusiaan sekalipun lembaga kemanusiaan itu dari pihak musuh. Konvensi ini disempurnakan dalam konvensi-konvensi Jenewa berikutnya, misalnya tahun 1949. Dalam Pasal 9 di Konvensi Jenewa tahun 1949 disebutkan:

“Ketentuan-ketentuan Konvensi ini tidak merupakan penghalang bagi kegiatan-kegiatan perikemanusiaan, yang mungkin diusahakan oleh Komite Palang Merah Internasional atau tiap-tiap organisasi humaniter lainnya yang tidak berpihak, untuk melindungi dan menolong yang luka dan sakit, petugas dinas kesehatan dan rohaniwan, selama kegiatan-kegiatan itu mendapat persetujuan Pihak-pihak dalam sengketa bersangkutan.”

Instrumen Nasional

Perlindungan terhadap lembaga kemanusiaan yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan masuk dalam bagian peran serta masyarakat. UU tentang Penanggulangan bencana dan PP yang menjelaskannya telah memberikan jaminan perlindungan:

UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Pada pasal 26 disebutkan: (1) Setiap orang berhak: d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial; e. berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya.

Pada Pasal 28, lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik secara tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain.

Pada Pasal 30 disebutkan: (1) Lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah dapat ikut serta dalam kegiatan penanggulangan bencana dan mendapat jaminan perlindungan dari Pemerintah terhadap para pekerjanya.

PP. No. 22 tentang Pendanaan dan pengelolaan Bencana

Pada Pasal 7 disebutkan: Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat.

Pada Pasal 8 disebutkan: Dalam mendorong partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah atau pemerintah daerah dapat: a. memfasilitasi masyarakat yang akan memberikan bantuan dana penanggulangan bencana; b. memfasilitasi masyarakat yang akan melakukan pengumpulan dana penanggulangan bencana; dan c. meningkatkan kepedulian masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyediaan dana.

Pada pasal Pasal 9 disebutkan: (1) Setiap pengumpulan dana penanggulangan bencana, wajib mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang. (2) Setiap izin yang diberikan oleh instansi/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) salinannya disampaikan kepada BNPB atau BPBD.