Lumpur Lapindo

From Bencanapedia.ID
Jump to: navigation, search

Jika Anda merasa konten halaman ini masih belum sempurna, Anda dapat berkontribusi untuk menyempurnakan dengan memperbaiki (Edit) atau memperdalam konten naskah ini. Setelah Anda anggap sempurna, silakan hapus koda template {{sempurnakan}} ini. Atau, Anda dapat mengirimkan perbaikan konten naskah ke bencanapedia@gmail.com..

Terimakasih..

Pra Bencana

PT Lapindo Brantas melakukan eksplorasi pertambangan gas dan minyak bumi di wilayah Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Proses eksplorasi menjadi masalah saat pemboran bawah tanah, menembus lapis tanah yang mengeluarkan lumpur panas dari retakan sumur.

Dampak Bencana

Penyebab Terjadinya Bencana Semburan Lumpur Panas Semburan lumpur panas dari bawah permukaan bumi ke atas permukaan bumi telah terjadi di daerah Porong Sidoarjo Jawa Timur (sekitar 20 kilometer sebelah selatan Surabaya) pada 29 Mei 2006. Semburan ini terjadi ketika PT Lapindo melakukan eksplorasi gas dan minyak bumi dengan melakukan pemboran di daerah Porong. Mekanisme kejadian ini hingga sekarang masih menjadi perdebatan antara kelalaian manusia (manmade disaster) dan gejala alam (natural disaster). Akibat dari semburan lumpur yang terus menerus dengan volume cukup besar telah menimbulkan luapan dan genangan lumpur di wilayah Porong dan sekitarnya.

Kronologi Semburan

Kronologi meluapnya lumpur PT Lapindo Brantas dan penanggulangannya secara garis besar adalah:

  1. 29 Mei 2006: Lumpur panas keluar dari retakan tanah di bagian timur sumur pengeboran milik PT Lapindo di Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo.
  2. 5 Juni 2006: Lumpur menggenangi 10 hektar tanah warga sekitar sumur pengeboran dan mengalir ke jalan tol Gempol-Surabaya, yang berjarak sekitar 200 meter dari titik pengeboran.
  3. 8 Juni 2006: Warga Desa Jatirejo, Siring, dan Renokenongo mulai kekurangan makanan serta air bersih.
  4. Memasuki hari ke-72, banjir lumpur panas Sidoarjo tidak dapat diatasi oleh PT Lapindo Brantas, bahkan genangan semakin meluas
  5. 25 Agustus 2006: terjadi ledakan di pusat semburan lumpur dengan semburan lumpur panas setinggi 30 meter, yang mengakibatkan dua orang petugas lapangan terluka.
  6. Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 pada 8 September 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo/BPLS
  7. September 2006: untuk mengantisipasi limpahan air lumpur pada musim hujan, dibangun saluran air dan kolam penampungan di desa Kedungbendo-kecamatan Tanggulangin, dan desa Siring, desa Jatirejo, kelurahan Mindi-kecamatan Porong sepanjang 1 kilometer untuk disalurkan ke Kali Porong
  8. 30 Oktober 2006: timbul semburan lumpur baru di desa Besuki, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo yang berjarak 1 km dari spill way dan berdekatan dengan tanggul kolam penampungan, merusakkan tanggul dan menggenangi desa Pejarakan. Lumpur panas yang kemudian berhasil dialirkan ke Kali Porong sulit dialirkan ke laut di Selat Madura karena lumpur tersedimentasi di sepanjang aliran sungai yang berjarak 20 kilometer dari pipa pembuangan di muara sungai.
  9. November 2006: lumpur panas mengalir ke arah Perumahan Tanggulangin Sejahtera (Perumtas) desa Kedungbendo.
  10. 22 November 2006 terjadi ledakan gas pipa Pertamina yang mengakibatkan korban jiwa.
  11. 27 Desember 2006: tanggul penahan lumpur di wilayah desa Kedungbendo rusak karena luapan air lumpur akibat hujan deras di kawasan Porong, warga desa Gempolsari dan desa Kedungbendo mulai mengungsi
  12. Januari 2007: tanggul penahan lumpur di desa Jatirejo rusak, lumpur mengalir mendekati desa Siring, sementara itu Perumtas telah tergenang lumpur setinggi atap rumah. Penurunan permukaan tanah merusakkan insfrastruktur utama Kabupaten Sidoarjo, diantaranya rel kereta api, jembatan Porong, dan sebagian ruas jalan tol.
  13. 25 Februari 2007: Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo mulai melaksanakan penyumbatan semburan lumpur dengan bola beton.
  14. 6 Maret 2007: meskipun telah berhasil dimasukkan 120 rangkaian bola beton ke dalam pusat semburan lumpur, penurunan volume semburan secara signifikan belum terlihat. Upaya memasukkan 475 rangkaian bola beton akan tetap dilaksanakan sesuai rencana.

File:Lapindo Kawasan Terdampak.jpg

Kawasan Terdampak Lumpur Lapindo

Pasca Bencana

Semburan lumpur Lapindo telah menenggelamkan kawasan permukiman seluas kurang lebih 200 hektar semenjak akhir Mei 2006 hingga awal Maret 2007 (10 bulan). Berdasarkan analisis data seismik, jika debit semburan sebesar 100 ribu m3 per hari konstan dan kondisi lainnya sama, sementara total volume lumpur yang ada di bawah Sidoarjo mencapai 1.155 miliar m3, maka lumpur di dalamnya diperkirakan baru habis 31 tahun kemudian.

Terhentinya semburan lumpur dapat lebih cepat atau lambat, tergantung tercapainya keseimbangan tekanan hidrostatik yang secara alami menyesuaikan diri antara kondisi lumpur di bawah bumi dan yang sudah dikeluarkan. Karena semburan tersebut merupakan bagian dari proses pembentukan “mud volcano” atau gunung api lumpur, maka selain berdampak berupa luapan lumpur yang berlangsung lama juga mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah (subsidence) di sekitar pusat semburan yang terus-menerus. Lumpur tersebut, merupakan campuran fluida dan padatan dalam bentuk air asin (88.200 m3 per hari) dan sedimen laut (37.800 m3 per hari) berupa lumpur, pasir, gas, serta uap dengan suhu 100 derajat Celcius di permukaan.

Land subsidence didefinisikan sebagai penurunan muka tanah sebagai fungsi dari waktu yang diakibatkan oleh banyak faktor. Misalnya disebabkan oleh pengambilan air tanah yang berlebihan (groundwater over exploitation), keluarnya gas dan lumpur secara masif dari dalam tanah ke permukaan, penurunan karena beban bangunan, penurunan karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik. Land subsidence atau penurunan muka tanah telah terdeteksi terjadi di Porong Sidoarjo.

Land subsidence dapat menyebabkan kerusakan pada bangunan dan struktur seperti retak-retak dan amblasan, pembalikkan arah sistem drainase (saluran jalan air), dan meningkatkan kemungkinan terjadinya bencana banjir (Poland dan Davis, 1969). Bahkan efek subsidence dapat menyebabkan kerusakan yang lebih ekstrim lagi berupa amblesan besar tanah (sinkholes) menghasilkan lubang besar, dan rekahan yang besar memanjang (fisurries) di beberapa tempat di sekitar daerah terjadinya land subsidence. Pengaruh dari land subsidence ini biasanya tidak terasa dalam jangka pendek, tetapi untuk beberapa kasus mungkin saja terjadi dalam waktu yang lebih cepat.

Melihat dampak negatif yang ditimbulkan oleh efek dari land subsidence berupa kerusakan bangunan, bahkan mungkin korban jiwa apabila terjadi amblasan yang besar, maka pemantauan land subsidence perlu untuk dilakukan, bahkan dimungkinkan untuk menekan laju terjadinya land subsidence dengan upaya-upaya khusus.

Dengan tujuan untuk melihat lebih lanjut karakteristik land subsidence di Porong, Sidoarjo, maka PT Lapindo Brantas bersama dengan Ikatan Ahli Geologi Indonesia/IAGI) dan Kelompok Keilmuan Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB telah melakukan survei GPS. Hasilnya menunjukkan GPS telah mendeteksi adanya penurunan tanah pada level desimeter dalam jangka waktu kurang dari satu bulan di sekitar Porong Sidoarjo. Kesepakatan utama adalah mengadakan pengukuran GPS secaraepisodik dan kontinyu di sekitar daerah Porong Sidoarjo. Realisasinya, untuk Pengamatan episodik GPS dilakukan per bulan, dan jumlah titik yang diukur adalah sekitar sepuluh hingga tujuh belas titik.

Hasil dari penelitian selengkapnya adalah GPS telah mendeteksi land subsidence dengan nilai penurunan pada skala desimeter dalam jangka waktu kurang dari satu bulan. Pada skala sub meter dalam jangka waktu kurang dari dua bulan, kemudian dalam jangka waktu 5 bulan, penurunan tanah yang terjadi di Porong Sidoarjo sudah dalam skala meter. Sementara itu hasil pemantauan secara kontinyu menggunakan GPS memperlihatkan land subsidence yang masih terus berlangsung sampai saat ini.

Hasil penurunan tanah yang terjadi di Porong menunjukkan kecepatan penurunan yang cukup besar. Waktunya juga relatif lebih cepat (kira-kira 1,5 meter selama 3 bulan terakhir) dibandingkan dengan kecepatan penurunan yang biasanya di daerah lain. Daerah Bandung dan Jakarta misalnya, mengalami penurunan tanah dengan kecepatan 10 cm/tahun).

Sumber

  1. Laporan Awal Penilaian Kerusakan dan Kerugian Akibat Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo. 2007, Jakarta: Bappenas