Mbah Maridjan
Jika Anda merasa konten halaman ini masih belum sempurna, Anda dapat berkontribusi untuk menyempurnakan dengan memperbaiki (Edit) atau memperdalam konten naskah ini. Setelah Anda anggap sempurna, silakan hapus koda template {{sempurnakan}}
ini. Atau, Anda dapat mengirimkan perbaikan konten naskah ke bencanapedia@gmail.com..
Terimakasih..
Contents
MBAH MARIDJAN
Mbah Marijan atau Mas Panewu Suraksohargo adalah juru kunci atau penjaga spiritual Gunung Merapi. Ia menikah dengan Ponirah dan memiliki sepuluh anak, lima di antaranya meninggal dunia. Dari kelima anaknya, Mbah Maridjan memiliki sebelas cucu dan enam cicit. Bersama keluarganya, Mbah Maridjan tinggal di Dusun Pelemsari, Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Yogyakarta, yang berada di kawasan lereng Gunung Merapi sebelah selatan.
Sebagai orang tua, Mbah Mardijan tidak hanya dihormati dan menjadi panutan karena usianya melainkan karena kearifan dan kelebihan (linuwih) yang ada padanya. Ia kerap melakukan laku prihatin dan percaya bahwa di Gunung Merapi ada penguasa (bahureksa) yang berdiam di sana dan aktifitas Gunung Merapi terkait dengan aktifitas penguasa tersebut.
Biografi
Pada tahun 1950, Mbah Maridjan merupakan wakil juru kunci yang saat itu dijabat oleh ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci pada tahun 1983 oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X dengan gelar Mas Panewu dan sebutan Suraksohargo. Secara harfiah, gelar dan sebutan ini berarti penunggu gunung yang memiliki tugas khusus melaksanakan upacara pemberian sesaji (labuhan).
Sebagai juru kunci dan juru bersih-bersih (juru reresik), Mbah Maridjan dipercaya bisa berkomunikasi dengan penunggu Gunung Merapi, yang merupakan salah satu gunung suci bagi masyarakat Jawa. Setiap tahunnya, Mbah Maridjan memimpin upacara pemberian sesaji untuk makhluk halus yang berdiam di Gunung Merapi, ke dalam dan di sekitar kawah. Pemberian sesaji ini dimaksudkan untuk menghormati keberadaan makhluk gaib di Gunung Merapi, ungkapan syukur atas berkah yang diberikan alam dan doa untuk keselamatan serta kesejahteraan seluruh warga.
Para penduduk yang tinggal di lereng Merapi percaya bahwa Mbah Maridjan akan mendapatkan penglihatan atau pertanda jika erupsi akan terjadi. Saat erupsi Gunung Merapi pada tahun 2006, Mbah Maridjan menolak untuk dievakuasi. Bersama beberapa warga, ia pergi ke masjid desa saat Gunung Merapi mulai erupsi. Ia mengalami luka bakar serius akibat awan panas dan dirawat selama lima bulan di rumah sakit. Tindakan tersebut didasarkan pada rasa tanggung jawab dan pengabdiannya pada mandat sebagai juru kunci.
Mbah Maridjan meninggal dunia pada tahun 2010, saat erupsi Gunung Merapi. Seperti sebelumnya, saat itu ia tetap tinggal di dusunnya meski aktifitas Gunung Merapi mengalami peningkatan. Ia meninggal terkena awan panas yang juga menghancurkan pemukiman warga di lereng selatan.
TIMELINE
1927 Kelahiran Mbah Maridjan. 1950-an Menjadi wakil juru kunci yang saat itu dijabat oleh ayahnya sendiri. 1983 Diangkat menjadi Mantri Juru Kunci oleh Kraton Yogyakarta. 1995 Berdasarkan Serat Kakancingan Ngarsa Dalem, diangkat menjadi Mas Panewu. 2010 Mbah Maridjan meninggal dunia akibat awan panas erupsi Gunung Merapi.
BOX
Erupsi Merapi 2010 dan Kematian Mbah Maridjan
Saat evakuasi karena erupsi tanggal 26 Oktober 2010, Mbah Maridjan kembali menolak untuk dievakuasi. Kepada temannya ia menyampaikan bahwa ia tidak bisa pergi, karena memiliki tanggung jawab dan karena ia merasa waktunya untuk meninggalkan dunia di tempat tinggalnya sudah hampir tiba. Sekitar tiga belas orang di rumahnya, yang berusaha membujuk Mbah Maridjan untuk turun, meninggal dunia bersama Mbah Maridjan karena semburan awan panas. Jasad Mbah Maridjan ditemukan dalam posisi bersujud; diperkirakan ia langsung meninggal dunia saat terkena semburan awan panas yang suhunya mencapai 10000C.