Ketangguhan bencana

From Bencanapedia.ID
Jump to: navigation, search

Jika Anda merasa konten halaman ini masih belum sempurna, Anda dapat berkontribusi untuk menyempurnakan dengan memperbaiki (Edit) atau memperdalam konten naskah ini. Setelah Anda anggap sempurna, silakan hapus koda template {{sempurnakan}} ini. Atau, Anda dapat mengirimkan perbaikan konten naskah ke bencanapedia@gmail.com..

Terimakasih..

Ketangguhan berasal dari kata 'tangguh' yang berarti kuat dan kokoh. Dihubungkan dengan bencana maksudnya adalah kokoh dan kuat dalam menghadapi kemungkinan adanya bencana dan ancaman adanya bencana. Kokoh dan kuat ini mengandung pengertian adanya kemampuan mengantisipasi, mengatasi, dan melakukan pemulihan, sehingga menjadi keadaan yang normal dan baik kembali. Masyarakat yang disebut tangguh bencana berarti masyarakat itu memiliki kekuatan dan kesanggupan untuk mengurangi risiko bencana dengan mengantisipasi, mengatasi, dan melakukan pemulihan dalam menghadapi bencana. Di dunia, masyarakat Jepang yang sering terkena gempa dan tsunami sering dijadikan contoh sebagai masyarakat yang tangguh bencana. Dalam studi kebencanaan, ketangguhan bencana ini merupakan kebalikan dari kerentanan atas bencana.

Makna tangguh

Ketangguhan sebuah masyarakat dalam menghadapi bencana, harus dimulai dengan kesadaran mendasar dalam masyarakat itu bahwa bencana, baik itu yang disebabkan alam atau karena rekayasan tangan-tangan kotor manusia, akan memiliki dampak buruk bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Misalnya, gempa bumi yang diiringi tsunami besar seperti di Aceh tahun 2004, perlu disadari dampaknya adalah hilangnya banyak nyawa, hancurnya harta benda, mengganggu aktivitas perekonomian, masa depan anak-anak, dan segala aktivitas sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat. Demikian pula bencana-bencana selain gempa, seperti longsor, banjir, perang, dan lain-lain, dengan ciri khasnya masing-masing akan membawa dampak yang parah kepada masyarakat.

Unsur terpenting dari ketangguhan bencana adalah kapasitas masyarakat, yang nantinya akan dijadikan modal untuk mengantisipasi, mengatasi dan memulihkan keadaan. Kapasitas itu bisa berupa cara-cara fisik, institusional, sosial, ekonomi, politik, agama, kebudayaan, dan pendidikan. Termasuk dalam hal ini adalah keahlian personal, kepemimpinan kelompok, organisasi sosial, dan kepercayaan-kepercayaan tertentu masyarakat yang bisa mendukung ketangguhan bencana.

Merthi Bumi

Salah satu modal sosial masyarakat Yogyakarta yang digunakan untuk menangguhkan recovery pasca bencana Gempa Bumi di Bantul tahun 2006. Merthi' bumi bermakna “merawat bumi”. Tradisi ini berasal dari masyarakat Jawa yang memahami bahwa bumi yang ditinggali manusia pada dasarnya adalah titipan yang harus dirawat, dilestarikan, dan dijaga terus menerus agar tercipta kesimbangan. Bentuk tradisi ini adalah berkumpul bersama dengan kenduri, berdoa untuk kebaikan, dan mendoakan para leluhur, memperbaiki yang telah rusak, dan merawat yang masih ada.

Biasanya doa dipimpin oleh pemimpin spiritual di local masing-masing, yang di Yogyakarta disebut dengan istilah Mbah Kaum. Bacaan doa-doa biasanya campuran Jawa dan Arab, tergantung dari penguasaan Mbah Kaum di masing-masing tempat. Di daerarah yang dihuni kebanyakan santri tradisi, doa-doa itu tidak menggunakan sesaji-sesaji yang ditaruh tempat-tempat tertentu. Tetapi bagi masyarakat Jawa yang tidak kental santrinya, biasanya menggunakan sesaji-seaji untuk ditaruh di tempat-tempat tertentu, yang tujuannya menjadi perantara agar Tuhan mencukupkan bencana yang ada dan memberikan kekuatan untuk keluar dari krisis.

Dari acara Merthi Bumi lalu diadakan musyawarah untuk melakukan gotong royong. Setelah gempa di Bantul tahun 2006, gotong royong dilakukan untuk mengubur mayat-mayat yang ada, tanpa harus menunggu relawan dan bantuan kemanusiaan. Kemudian dilanjutkan dengan gotong royong menyingkirkan rintangan di jalan-jalan umum, dan merobohkan rumah yang memang sudah mau roboh tetapi belum roboh. Proses recovery kemudian dilanjutkan oleh masyarakat dengan membersihkan puing-puing rumah, sampai kemudian muncul bantuan kemanusian dar lembaga-lembaga dan pemerintah.


Sebagai contoh, modal sosial yang dimiliki masyarakat begitu besar didayagunakan dalam melakukan recovery dan pemulihan keadaan pasca Gempa Bumi yang terjadi di Bantul tahun 2006. Modal sosial berupa tradisi gotong royong, guyub rukun, dan beberapa tradisi masyarakat lain seperti Merti Bumi, termasuk kepemimpinan di kalangan kiai, Mbah Kaum, dan pemimpin desa yang bersatu padu, mempercepat terjadinya pemulihan pasca Gempa Bumi Bantul. Di sini inisatif dari masyarakat, termasuk lembaga-lembaga swadaya masyarakat, adalah kunci dari adanya ketangguhan bencana, baik dalam mengantisipasi, mengatasi, dan melakukan pemulihan keadaan. Akan tetapi modal sosial yang dimiliki masyarakat tidak akan berjalan dengan baik, kalau pilar kedua tidak berjalan.

Pilar kedua untuk menopang ketangguhan bencana adalah kapasitas negara dengan segala instrumen yang dimilikinya, seperti UU, peraturan, kepemiminan politik, tentara yang merakyat, polisi yang membela masyarakat, pendanaan, logistik, dan lain-lain. Di Indonesia sendiri untuk memperkuat ketangguhan bencana ini, telah memiliki modal UU, yaitu UU Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang menempatkan pemerintah sebagai pihak (yang paling) bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana dengan memeberikan mandate kepada BNPB (Badan Nasional Penanggulangan bencana); dan segala instrumen yang harus dimiliki dan dilakukan dalam mengantisipasi, menanggulangi, dan memulihkan dampak bencana.

Di samping itu, ketangguhan bencana dalam masyarakat akan semakin kokoh manakala masyarakat dan negara itu memiliki kesadaran yang kuat tentang pentingnya mitigasi bencana, dalam pengertian yang sangat luas. Dengan mitigasi bencana yang dirancang, disosialisasikan, dan dirumuskan secara partisipatif, akan bisa dijadikan sebagai modal untuk mengantisipasi dampak bahaya dan bencana yang akan terjadi, masyarakat telah siap bila sewaktu-waktu ada bahaya dan bencana, yang itu akan mengurangi dampak dan risiko terhadap bencana dan adanya ancaman bencana.

Ketangguhan Berbasis Mitigasi Bencana

Ketangguhan menghadapi bencana bisa dilakukan oleh masyarakat dengan mitigasi bencana. Poin penting dari mitigasi bencana adalah upaya mengurangi risiko bencana, melalui pembangunan fisik, penyadaran, dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Caranya adalah dengan melakukan relokasi penduduk dari daerah rawan bencana, misalnya memindahkan penduduk yang berada di pinggir tebing yang mudah longsor, bantaran kali yang rawan banjir bandang; pelatihan-pelatihan kesiapsiagaan bencana bagi penduduk di sebuah daerah; pengkondisian rumah atau sarana umum yang tanggap bencana da relatif lebih kuat jika dilanda gempa; dan penciptaan dan penyebaran kearifan lokal tentang kebencanaan sebagai modal sosial.