Gempa Jogja-Jateng

From Bencanapedia.ID
Revision as of 22:20, 6 November 2021 by Ben (talk | contribs)
Jump to: navigation, search

Jika Anda merasa konten halaman ini masih belum sempurna, Anda dapat berkontribusi untuk menyempurnakan dengan memperbaiki (Edit) atau memperdalam konten naskah ini. Setelah Anda anggap sempurna, silakan hapus koda template {{sempurnakan}} ini. Atau, Anda dapat mengirimkan perbaikan konten naskah ke bencanapedia@gmail.com..

Terimakasih..

Kejadian

Pada Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05.45 wib, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sebagian Jawa Tengah (JogJateng) diguncang gempa berkekuatan 5.8 SR.

Skala gempa yang terbilang tidak tinggi tersebut, amat mematikan, karena ternyata merupakan gempa darat. Pada awalnya sempat diperkirakan episentrummya terletak di laut. Waktu itu masyarakat JogJateng tengah mewaspadai erupsi Merapi yang terletak di tengah perbatasan DIY dengan kabupaten Magelang dan Klaten, Jawa Tengah. Di tengah kewaspadaan akan ancaman bencana erupsi Gunung Merapi, ternyata sesar sungai Opak bergeser, memgalami subduksi.

Sebenarnya gempa besar kali itu bukan yang pertama. Pada 1867 pernah terjadi gempa yang sama. Dampaknya Gedung Agung dan Benteng Vredeburg roboh dan Tugu Jogja patah menjadi tiga bagian. Peristiwa itu dikenang sebagai sengkalan atau kronogram "Rubuhing Gapuro Swara Tunggal". Gempa serupa pada 1943, menewaskan 213 orang, 2.096 terluka dan merobohkan 2.800 bangunan rumah.

Akibat dan Dampak

Tercatat 6.234 orang meninggal, lebih dari 50.000 orang luka-luka, dan tidak kurang dari 70.000 rumah atau bangunan roboh akibat kebanyakan rumah masih ditopang batu-bata berperekat tanah liat atau kapur, tanpa semen penguat.

Hoax Tsunami

Awas Hoax Tsunami

Saat terjadi gempa bumi di Bantul, Daerah Istimewa Yoyakarta (DIY) pada 27 Mei 2006 ada yang menarik dijadikan pembelajaran dalam menghadapi tsunami.

Saat itu masyarakat belum begitu paham tentang evakuasi gempa bumi. Pemberitaan hanya seputar Tsunami Aceh Nias atau gempa bumi bertsunami yang dahsyat di Aceh.

Serenta merasakan guncangan gempa, rumah tetangga roboh. Rumah kami miring. Tidak lama, terbetik berita beredar, ada tsunami datang. Semua warga panik memdengar kabar viral itu.

Jadilah, gelombang manusia dari arah selatan atau pantai selatan berlari ke arah utara. Kami satu permukiman pun panik. Tetangga kami ada yang berlari, bersiap di lantai atas. Kami bersama tetangga akhirnya memutuskan naik motor ke arah utara.

Informasi dari tetangga, saudaranya yang menjadi relawan bencana sedang berjaga di pantai juga menyarankan lebih baik ke daerah utara atau daerah ketinggian.

Kami dititipi anak tetangga dua orang. Sementara tetangga mengatakan, akan disini saja, menjaga pemukiman.

Sepanjang perjalanan kami bertemu dengan masyarakat yang berbondong-bondong dengan wajah ketakutan ke arah utara. Ada beberapa rombongan menggunakan truk. Truk pertama untuk barang-barang, truk kedua untuk orang. Pada akhirnya kami paham, ternyata mereka adalah para penjarah yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Di tengah jalan, ada seseorang menggunakan jaket polisi. Ia mengaku dari Polsek Kretek, Bantul, DIY.Menurut Polisi, tidak ada memberitahu tsunami.

Sebagian berbalik. Ada yang berhenti sebentar, namun lebih banyak yang melanjutkan perjalanan. Untuk meyakinkan, Bapak tersebut menunjukkan kartu tanda polisi.

Kami berembug sebentar, tetapi kesimpulannya, lebih aman pergi ke arah utara karena saran saudara tetangga yang menjadi relawan Tagana tadi. Celakanya telepon tidak berfungsi saat itu, sehingga tidak ada update berita.

Kami melaju terus sampai daerah Prambanan. Di sana bertemu dengan guru TK anak kami. Saat itu sepertinya Ia sedang memutuskan untuk balik ke rumah di daerah Prambanan pula.

Setelah melihat kami, Ia beritahu sanak-saudaranya bahwa kami dari daerah selatan, Potorono saja juga melarikan diri. Akhirnya dia juga ikut melarikan diri.

Ternyata kehadiran kami malah semakin membuat panik orang di wilayah utara. Begitulah seterusnya. Asumsi kami tidak berdasar. Pengetahuan kami tidak memadai. Informasi terputus karena hanya mengandalkan telepon genggam. Rentetan faktor tersebut menjadikan kami sebagai salah satu penyebab berkembangnya hoax tentang tsunami.

Kami berhenti karena bensin motor habis dan perlu mengisi di daerah Kalasan, Sleman DIY. Dari sana kami akhirnya kembali ke rumah. Saudara dan tetangga tetap belum bisa dihubungi. Namun faktanya, rumah tidak dilanda tsunami seperti diisukan.

Kesimpulannya, di setiap bencana gempa, ada baiknya bila pergi ke suatu daerah, kita perlu mengidentifikasi jarak dari pantai dan kontur tanah. Tujuannya agar kita tahu seberapa besar potensi ancaman tsunami di daerah tersebut.

Kita perlu ‘kepo’ pula tentang jalur evakuasi di daerah yang kita datangi, sekaligus membuat gambaran sederhana apabila terjadi bencana.