Difference between revisions of "Gempa Jogja-Jateng"

From Bencanapedia.ID
Jump to: navigation, search
(Kejadian)
Line 3: Line 3:
 
== Kejadian ==
 
== Kejadian ==
  
Pada Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05.45 wib, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sebagian Jawa Tengah (JogJateng) diguncang gempa berkekuatan 5.8 SR.
+
Pada Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05.45 wib, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan kabupaten Klaten, Jawa Tengah diguncang gempa berkekuatan 5.8 SR (Gempa JogJa-Jateng).
  
Skala gempa yang terbilang tidak tinggi tersebut, amat mematikan, karena ternyata merupakan gempa darat. Pada awalnya sempat diperkirakan episentrummya terletak di laut. Waktu itu masyarakat JogJateng tengah mewaspadai erupsi Merapi yang terletak di tengah perbatasan DIY dengan kabupaten Magelang dan Klaten, Jawa Tengah. Di tengah kewaspadaan akan ancaman bencana erupsi Gunung Merapi, ternyata sesar sungai Opak bergeser, mengalami subduksi.
+
Sejak informasi awal hingga beberapa saat, pihak otoritas seperti Badan Meteorologi Geofisika (BMG) sempat menyebut bencana tersebut disebabkan oleh gempa tektonik alias episentrum gempanya berada di dasar laut Samudera Hindia. Namun dalam perkembangan, peta analisis kegempaan Amerika Serikat The United States Geological Survey (USGS) dan Pusat Seismologi Mediterania Eropa (EMSC) menegaskannya sebagai gempa daratan. Skala gempa yang tidak begitu tinggi (5.8 SR) namun berdampak amat parah, menunjuk episentrum gempa darat, yang berepisentrum di sepanjang sesar Sungai Opak.  
 +
 
 +
Sebab gempa yang berpusat dari ujung utara di wilayah Klaten hingga muara lembah Opak di tepi Samudera Hindia. masih terus diteliti oleh para ahli. Simpulan sementara menyebut, gempa tersebut disebabkan oleh episentrum gempa dangkal (10 km) dan tidak hanya berguncang secara horizontal namun juga vertikal. Berbagai kesaksian warga penyintas tentang wujud bangunan rumah dan tanah yang nampak berguncang seperti gelombang ombak menguatkan fakta tersebut.
 +
 
 +
Waktu itu sebenarnya masyarakat Jogja dan Jawa Tengah sedang mewaspadai erupsi Merapi yang terletak di tengah perbatasan DIY dengan kabupaten Magelang dan Klaten, Jawa Tengah. Di tengah kewaspadaan akan ancaman bencana erupsi Gunung Merapi di sisi utara kota Jogja, ternyata Sesar (Sungai) Opak di sisi selatan-timur bergeser. Sesar atau Patahan Opak mengalami subduksi dangkal. Gempa Jogja-Jateng dipicu oleh sesar daratan yang dangkal (shallow crustal)
  
 
Sebenarnya gempa besar kali itu bukan yang pertama. Pada 1867 pernah terjadi gempa yang sama. Dampaknya Gedung Agung dan Benteng Vredeburg roboh serta Tugu Jogja patah menjadi tiga bagian. Peristiwa itu dikenang sebagai sengkalan atau kronogram "Rubuhing Gapuro Swara Tunggal". Gempa serupa pada 1943, menewaskan 213 orang, 2.096 terluka, dan merobohkan 2.800 bangunan rumah.
 
Sebenarnya gempa besar kali itu bukan yang pertama. Pada 1867 pernah terjadi gempa yang sama. Dampaknya Gedung Agung dan Benteng Vredeburg roboh serta Tugu Jogja patah menjadi tiga bagian. Peristiwa itu dikenang sebagai sengkalan atau kronogram "Rubuhing Gapuro Swara Tunggal". Gempa serupa pada 1943, menewaskan 213 orang, 2.096 terluka, dan merobohkan 2.800 bangunan rumah.
 +
 +
Sejarah mencatat tahun 1867 terjadi gempa besar yang menyebabkan kerusakan besar rumah–rumah penduduk, bangunan Keraton Yogyakarta, dan kantor–kantor pemerintah kolonial. Gempa besar juga terjadi pada tahun 1937, 1943, 1976, 1981, 2001, dan 2006. Namun, gempa dengan jumlah korban besar terjadi pada tahun 1867, 1943, dan 2006.
  
 
== Akibat dan Dampak ==
 
== Akibat dan Dampak ==

Revision as of 21:57, 19 November 2021

Jika Anda merasa konten halaman ini masih belum sempurna, Anda dapat berkontribusi untuk menyempurnakan dengan memperbaiki (Edit) atau memperdalam konten naskah ini. Setelah Anda anggap sempurna, silakan hapus koda template {{sempurnakan}} ini. Atau, Anda dapat mengirimkan perbaikan konten naskah ke bencanapedia@gmail.com..

Terimakasih..

Kejadian

Pada Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05.45 wib, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan kabupaten Klaten, Jawa Tengah diguncang gempa berkekuatan 5.8 SR (Gempa JogJa-Jateng).

Sejak informasi awal hingga beberapa saat, pihak otoritas seperti Badan Meteorologi Geofisika (BMG) sempat menyebut bencana tersebut disebabkan oleh gempa tektonik alias episentrum gempanya berada di dasar laut Samudera Hindia. Namun dalam perkembangan, peta analisis kegempaan Amerika Serikat The United States Geological Survey (USGS) dan Pusat Seismologi Mediterania Eropa (EMSC) menegaskannya sebagai gempa daratan. Skala gempa yang tidak begitu tinggi (5.8 SR) namun berdampak amat parah, menunjuk episentrum gempa darat, yang berepisentrum di sepanjang sesar Sungai Opak.

Sebab gempa yang berpusat dari ujung utara di wilayah Klaten hingga muara lembah Opak di tepi Samudera Hindia. masih terus diteliti oleh para ahli. Simpulan sementara menyebut, gempa tersebut disebabkan oleh episentrum gempa dangkal (10 km) dan tidak hanya berguncang secara horizontal namun juga vertikal. Berbagai kesaksian warga penyintas tentang wujud bangunan rumah dan tanah yang nampak berguncang seperti gelombang ombak menguatkan fakta tersebut.

Waktu itu sebenarnya masyarakat Jogja dan Jawa Tengah sedang mewaspadai erupsi Merapi yang terletak di tengah perbatasan DIY dengan kabupaten Magelang dan Klaten, Jawa Tengah. Di tengah kewaspadaan akan ancaman bencana erupsi Gunung Merapi di sisi utara kota Jogja, ternyata Sesar (Sungai) Opak di sisi selatan-timur bergeser. Sesar atau Patahan Opak mengalami subduksi dangkal. Gempa Jogja-Jateng dipicu oleh sesar daratan yang dangkal (shallow crustal)

Sebenarnya gempa besar kali itu bukan yang pertama. Pada 1867 pernah terjadi gempa yang sama. Dampaknya Gedung Agung dan Benteng Vredeburg roboh serta Tugu Jogja patah menjadi tiga bagian. Peristiwa itu dikenang sebagai sengkalan atau kronogram "Rubuhing Gapuro Swara Tunggal". Gempa serupa pada 1943, menewaskan 213 orang, 2.096 terluka, dan merobohkan 2.800 bangunan rumah.

Sejarah mencatat tahun 1867 terjadi gempa besar yang menyebabkan kerusakan besar rumah–rumah penduduk, bangunan Keraton Yogyakarta, dan kantor–kantor pemerintah kolonial. Gempa besar juga terjadi pada tahun 1937, 1943, 1976, 1981, 2001, dan 2006. Namun, gempa dengan jumlah korban besar terjadi pada tahun 1867, 1943, dan 2006.

Akibat dan Dampak

Tercatat 6.234 orang meninggal, lebih dari 50.000 orang luka-luka, dan tidak kurang dari 70.000 rumah atau bangunan roboh. Dampak kerusakan gedung menjadi parah karena kebanyakan rumah khususnya di pelosok pedesaan masih ditopang batu-bata berperekat tanah liat atau kapur, tanpa semen penguat.

LetterofgratitudeHBX.jpg

Hoax Tsunami

Awas Hoax Tsunami

Saat terjadi gempa bumi di Bantul, Daerah Istimewa Yoyakarta (DIY) pada 27 Mei 2006 ada yang menarik dijadikan pembelajaran dalam menghadapi tsunami.

Saat itu masyarakat belum begitu paham tentang evakuasi gempa bumi. Pemberitaan juga hanya seputar Tsunami Aceh Nias (gempa bumi bertsunami yang dahsyat di Aceh). Namun masyarakat kurang memperolah penjelasan lebih lanjut, bagaimana bila gempa disusul tsunami benar-benar terjadi. Apa yang semestinya harus dilakukan.

Serenta merasakan guncangan gempa pagi itu, kami benar-benar panik. Apalagi saat menyaksikan rumah tetangga roboh, sementara rumah kami dindingnya sudah miring. Kami tinggal di desa Potorono, kabupaten Bantul, di kawasan ring road selatan.

Tidak lama, terbetik berita beredar, tsunami akan datang. Semua warga panik mendengar kabar viral itu. Jadilah, gelombang manusia dari arah selatan atau pantai selatan Jogja berlari ke arah utara (kota). Kami satu permukiman pun panik. Tetangga kami berlarian. Ada pula yang bersiap di lantai atas. Kami sendiri bersama tetangga akhirnya memutuskan naik motor ke arah utara.

Informasi dari tetangga, saudaranya yang menjadi relawan bencana sedang berjaga di pantai, juga menyarankan lebih baik ke daerah utara atau daerah ketinggian. Kami juga dititipi anak tetangga dua orang. Sementara tetangga mengatakan, akan berdiam di rumahnya untuk menjaga pemukiman.

Sepanjang perjalanan kami bertemu dengan masyarakat yang berbondong-bondong ke arah utara dengan raut wajah ketakutan. Ada beberapa rombongan menggunakan truk. Truk pertama berisi barang-barang, truk kedua mengangkut orang. Di samping ratusan orang lainnya melaju kencang menaiki sepeda motor.

Di tengah kepanikan itulah, kami baru sadar, bahwa beberapa di antara truk pengangkut itu adalah para penjarah. Mereka mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk mencuri harta benda milik warga.

Di tengah jalan, ada seseorang menggunakan jaket polisi. Ia mengaku dari Polsek Kretek, Bantul, DIY. Menurut Polisi, tidak ada pemberitahuan tentang terjadinya tsunami. Mendengar keterangan tersebut, sebagian warga berbalik, sebagian berhenti sebentar. Namun lebih banyak warga melanjutkan perjalanan. Untuk meyakinkan kebenaran informasi tersebut, si polisi menunjukkan kartu tanda anggota kepolisian.

Melihat perkembangan kondisi tersebut, kami berembug sebentar. Namun kesimpulannya, kami merasa lebih aman pergi ke arah utara berdasarkan saran saudara tetangga kami yang relawan Tagana tadi. Celakanya telepon tidak berfungsi saat itu, sehingga tidak ada update berita lagi darinya.

Kami melaju terus sampai daerah Prambanan. Di sana bertemu dengan guru TK anak kami. Saat itu sepertinya Ia sedang memutuskan untuk balik ke rumah di daerah Prambanan pula.

Setelah melihat kami, Ia beritahu sanak-saudaranya bahwa kami dari daerah selatan, dari desa Potorono, Bantul saja juga melarikan diri. Akhirnya dia juga ikut melarikan diri ke utara.

Di sinilah pembelajaran penting lain mesti dipetik. Ternyata kehadiran kami malah semakin membuat panik orang di wilayah utara. Asumsi kami tidak berdasar. Pengetahuan kami tidak memadai. Informasi terputus karena hanya mengandalkan telepon genggam. Rentetan faktor tersebut menjadikan kami sebagai salah satu penyebab berkembangnya hoax tentang tsunami. Kabar hoax malah semakin tersebar dari orang ke orang.

Kami berhenti karena bensin motor habis dan perlu mengisi di kawasan Kalasan, kabupaten Sleman. Dari sana akhirnya kami putuskan kembali ke rumah. Saudara dan tetangga tetap belum bisa dihubungi. Namun faktanya, setiba di rumah, tsunami tidak terjadi seperti diisukan.

Kesimpulannya, di setiap bencana gempa, ada baiknya kita perlu mengidentifikasi jarak lokasi kita berada dari titik pantai dan bentuk kontur tanah seperti Bukit Karst Pantai Selatan yang sangat tinggi tentu saja menjadi perintang bagi tsunami kalaupun terjadi. Tujuannya agar kita tahu seberapa besar potensi ancaman tsunami di daerah tersebut.

Kita memang perlu "kepo" pula, tentang jalur evakuasi di daerah kita berada. Tidak ada salahnya pula bila kita membuat gambaran sederhana apabila terjadi bencana.